Penulis : Ari Bagus Pranata
Di kelas anak kamu ada gak yang menjual buku LKS?
Dalam Peraturan Pemerintah No 17 tahun 2010 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, telah dinyatakan dengan tegas bahwa pendidik dan tenaga kependidikan dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan. Namun, terlepas dari larangan tersebut, praktek penjualan buku LKS oleh oknum guru khususnya jenjang Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama di Kabupaten Banyuwangi masih marak terjadi.
Menariknya, segelintir oknum guru yang cerdik menggunakan modus-modus tertentu untuk menghindari larangan tersebut. Salah satu modus yang mereka lakukan adalah dengan melakukan kerjasama dengan sebuah toko buku. Mereka mengarahkan orang tua murid untuk membeli buku-buku di toko tersebut dengan alasan bahwa toko tersebut adalah satu-satunya yang menyediakan buku LKS yang sesuai dengan materi yang diajarkan di kelas.
Setelah buku-buku tersebut terjual, diduga pihak toko buku memberikan keuntungan atau fee kepada oknum guru, yang kemungkinan juga memberikan setoran kepada oknum kepala sekolah. Selain itu, ada pula modus lain yang dilakukan dengan menjual buku LKS melalui koperasi sekolah (Kopsis). Oknum guru menjual buku-buku tersebut di Kopsis dengan dalih bahwa mereka tidak menjualnya di sekolah, tetapi di Kopsis.
Namun, pertanyaannya adalah, untuk siapa sebenarnya keuntungan dari penjualan buku LKS ini? Dan untuk keperluan apa saja hasil keuntungan dari penjualan buku digunakan? Jika hasil keuntungan dari penjualan buku sekolah tersebut dimaksudkan untuk kepentingan sekolah atau siswa, mengapa tidak berani dipublikasikan di sekolah?
Menurut saya, Kopsis sekolah hanya menjadi kedok untuk memuluskan oknum-oknum guru yang memiliki niat tidak baik dan haus akan kekayaan pribadi. Modus-modus seperti ini memang sulit untuk diungkap, tetapi jika praktek ini dibiarkan saja atau tidak bisa diberantas, maka berpotensi menjadi sumber permasalahan yang lebih serius, seperti penyebaran praktek korupsi di dunia pendidikan yang seharusnya menjalankan fungsi notabenenya.
Padahal, di sekolah seharusnya bukanlah tempat untuk berbisnis demi keuntungan pribadi, tetapi untuk mencerdaskan anak bangsa dengan menjunjung tinggi akhlak yang mulia. Selain itu, perlu diingat bahwa tidak hanya pendidik dan tenaga kependidikan yang dilarang menjual buku LKS, tetapi juga komite pun dilarang menjual Buku LKS, Seperti yang tertuang di dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 Tentang Komite Sekolah, komite sekolah baik perseorangan maupun kolektif juga dilarang menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di sekolah.
Jika di sekolah masih terjadi penjualan buku LKS kepada siswa, kemana perginya buku-buku yang sudah dianggarkan oleh Dana BOS? Apakah buku-buku yang berasal dari pemerintah pusat terlalu tebal dan memiliki banyak materi sehingga sulit untuk disampaikan kepada siswa, atau ada masalah lain sehingga siswa diharuskan membeli buku LKS bahkan sampai melakukan fotokopi?
Sebagai harapan saya, penjualan buku LKS di seluruh sekolah khususnya di jenjang SD dan SMP di Kabupaten Banyuwangi harus dihapuskan. Jika perlu, peran bupati, gubernur, atau menteri harus turun untuk melakukan investigasi dan evaluasi yang tegas guna memberantas praktek penjualan buku LKS yang melanggar peraturan.
Dengan demikian, diharapkan pendidikan di Kabupaten Banyuwangi bisa kembali fokus pada misi mulia yaitu mencerdaskan anak bangsa, bukan sekadar menjadi ajang bisnis yang merugikan siswa dan merusak moralitas pendidikan.
.