Viral Dugaan Pungli SIM C di Polres Jember, Netizen Ramai Ungkap Praktik Serupa di Malang

Ari Bagus Pranata
Foto: Ilustrasi (net)

Jember – Media sosial dihebohkan dengan beredarnya kabar dugaan praktik pungutan liar (pungli) dalam pengurusan Surat Izin Mengemudi (SIM) C di wilayah Polres Jember, Jawa Timur. Praktik yang diduga sudah menjadi sistem gelap, terstruktur, dan masif ini menuai ribuan komentar dari warganet.

Dalam unggahan yang viral, disebutkan bahwa biaya pembuatan SIM C tidak sesuai dengan aturan resmi yang telah ditetapkan pemerintah. Sejumlah warganet bahkan mengaku dimintai biaya lebih tinggi dari ketentuan, sehingga menimbulkan kecurigaan adanya praktik ilegal di balik pelayanan publik tersebut.

Tak berhenti di Jember, riuh warganet semakin ramai ketika komentar serupa muncul dari daerah lain, termasuk Malang. Beberapa akun menyebut bahwa di Malang biaya pengurusan SIM C bisa mencapai Rp950 ribu, sementara ada juga yang menyebut Rp800 ribu, jauh di atas tarif resmi yang seharusnya berlaku.

“di malang 950 A, sim C 800, menyallaa gktu,” tulis komentar nitizen.

Hingga berita ini dimuat, Data A Satu Masih menelusuri kebenaran informasi tersebut dan melakukan konfirmasi kepada pihak terkait.

Fenomena ini memunculkan reaksi keras dari masyarakat yang menuntut adanya transparansi dan pengawasan ketat terhadap pelayanan pengurusan SIM. Publik berharap pihak Kepolisian, khususnya Divisi Propam, segera turun tangan melakukan penyelidikan menyeluruh untuk memastikan pelayanan SIM bersih dari pungli.

Seperti berita yang beredar, Hasil investigasi tim SorotPeristiwa.com mengungkap pola penyimpangan serius dalam penerbitan SIM, di mana pemohon cukup membayar Rp700 ribu melalui jalur calo untuk mendapatkan SIM, tanpa perlu mengikuti apalagi lulus-ujian resmi.

Seorang warga berinisial K, warga Kecamatan Patrang, Kabupaten Jember, membagikan pengalamannya kepada redaksi. la mencoba menempuh jalur resmi melalui Satlantas Polres Jember, namun selalu gagal dalam ujian praktik. K menyebut, ujian dipenuhi kejanggalan yang seolah dirancang untuk menjegal pemohon.

“Garis lintasannya sempit, rambu tidak jelas, dan penguji seperti sengaja mencari-cari kesalahan. Bukan hanya saya, banyak yang gagal karena hal serupa,” ujarnya.

Setelah beberapa kali gagal, K diarahkan temannya untuk menghubungi seseorang yang bisa “menguruskan” SIM-nya. Hanya dengan menyerahkan Rp700 ribu, K langsung difoto dan tak lama kemudian SIM C resmi diterbitkan -tanpa tes ulang, tanpa hambatan. Proses tersebut berjalan mulus, seolah-olah menjadi standar prosedur tak tertulis.

Investigasi lapangan menunjukkan praktik serupa terjadi di beberapa lokasi lain di Kabupaten Jember. Para calo secara terang-terangan menawarkan jasa “bantu lulus SIM” di dekat area Satpas. Sementara itu, pemohon diarahkan untuk tidak lagi membuang waktu dengan mengikuti jalur resmi yang dinilai hanya formalitas.

Sumber internal menyebut, aliran dana dari pemohon tidak berhenti di tangan calo. Dana dikumpulkan secara sistematis dan disetorkan kepada oknum petugas yang mengendalikan sistem penerbitan SIM. Bahkan, jumlah “pemohon yang ditangani” didata untuk pembagian setoran yang rapi.

Fakta ini mengarah pada pertanyaan yang lebih dalam: apakah praktik ini bisa berlangsung bertahun-tahun tanpa diketahui pimpinan? Ataukah ada unsur pembiaran yang disengaja demi keuntungan kolektif? Sulit dipercaya bila Kapolres atau Kasat Lantas tidak mengetahui pola seperti ini, apalagi jika telah menjadi rahasia umum.

Dalam konteks hukum, praktik ini mengandung unsur pelanggaran Pasal 12 huruf e dan Pasal 5 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyebutkan bahwa setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji karena telah melakukan sesuatu dalam jabatannya dapat dipidana.

Lebih dari sekadar penyimpangan prosedur, skema ini adalah ancaman langsung terhadap keselamatan publik. SIM adalah dokumen legal yang hanya bisa diterbitkan jika pemohon lolos uji teori dan praktik. Ketika dokumen itu dapat diperjualbelikan, maka lalu lintas menjadi ladang maut. Pengemudi tak layak bisa leluasa menguasai jalan, dan nyawa orang lain menjadi taruhannya.

Kasat Lantas Jember, Kapolres Jember dan Propam Polda Jatim.

Jika hukum bisa dibeli, maka keadilan tinggal retorika. Dan jika aparat hukum memilih diam, publik punya hak penuh untuk bertanya: siapa pelindung rakyat, siapa sebenarnya pelaku kejahatan?

Jika kasus ini tidak segera terungkap, maka kepercayaan publik kepada polres Jember dan Polda Jatim akan semakin menurun. Hingga saat ini slogan Polri presisi hanya sekedar tulisan di Jember.

Share This Article
Leave a comment