Ada-ada saja kelakuan salahsatu pejabat di Banyuwangi. Alih-alih membuka ruang dialog dengan masyarakat, seorang camat justru terkesan “alergi kritik”. Saat warga mencoba menyampaikan pertanyaan terkait layanan yang dinilai rumit dan berbelit, bukannya mendapat jawaban atau solusi, malah nomor WhatsApp warga justru diblokir.
Sikap seperti ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah camat memang digaji untuk melayani masyarakat, atau justru memilih membungkam suara warganya? Padahal, kritik sejatinya adalah vitamin demokrasi. Lalu, jika kritik dan pertanyaan sederhana saja sudah dianggap mengganggu, bagaimana bisa pelayanan publik berjalan transparan dan responsif?
Masyarakat tentu berharap pejabat tidak hanya ramah saat acara seremonial atau ketika kamera menyorot, tetapi juga siap mendengar suara warganya di keseharian. Bukankah tugas utama camat adalah melayani, bukan memblokir?
Ditulis oleh Ari Bagus Pranata