Pelantikan Sekretaris Daerah (Sekda) Banyuwangi, Guntur Priambodo, yang digelar di Tempat Pengolahan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TPS3R) Desa Balak, Songgon, memang menyimpan simbol kuat: pesan tentang pentingnya pengelolaan lingkungan dan kesadaran bersama soal sampah. Namun, di balik simbolik itu, muncul pertanyaan kritis: apakah pemerintah Banyuwangi benar-benar serius menyelesaikan persoalan sampah yang justru semakin kompleks di lapangan?
Fakta di lapangan, masih sejumlah sungai di Banyuwangi yang dipenuhi sampah plastik dan limbah rumah tangga. Warga pun kerap mengeluhkan sulitnya akses fasilitas pembuangan sampah. Alih-alih mendapat solusi, banyak masyarakat terpaksa membakar sampah mereka sendiri. Aktivitas ini menghasilkan polusi udara yang berpotensi membahayakan kesehatan, terutama pernapasan.
Ironinya, ketika sebuah pelantikan pejabat penting digelar di TPS3R dengan pesan keberlanjutan, justru problem sampah sehari-hari warga belum ditangani dengan serius. Bukankah lebih penting memastikan seluruh warga memiliki sarana buang sampah yang memadai dibanding hanya mengirim simbol dalam seremoni?
Apakah ini bentuk kehadiran pemerintah Banyuwangi yang kurang respek terhadap persoalan riil masyarakat? Di satu sisi, pemerintah mengusung narasi ramah lingkungan, tapi di sisi lain fasilitas dasar pengelolaan sampah di banyak wilayah masih minim.
Jika pelantikan di TPS3R hanya sebatas pencitraan tanpa aksi nyata untuk memperbaiki tata kelola sampah, maka langkah itu berpotensi kontraproduktif. Pemerintah perlu membuktikan komitmennya dengan memperluas layanan pengangkutan sampah, menyediakan TPS di tiap wilayah, serta mengedukasi masyarakat agar tidak hanya bergantung pada pembakaran sampah yang berbahaya.
Sebab, penghargaan sesungguhnya terhadap lingkungan bukan sekadar lewat simbol acara, melainkan hadir nyata dalam solusi yang dirasakan langsung oleh masyarakat.
Ditulis oleh Ari Bagus Pranata